|
SITE NETWORK
Lombok Travel Information
Komodo Travel Information
Rinjani Trekking Information
Paket Wisata
ke Lombok
Lombok Rental Car
|
|
FESTIVAL BUDAYA DI LOMBOK
Selamat datang di
Biro Perjalanan
Lombok Wisata, Kami menawarkan informasi lengkap tentang
Festival Budaya di Lombok sebagai berikut :
1. BAU NYALE / TANGKAP CACING LAUT
Nyale adalah
sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau Nyale. Kata
Bau berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap sedangkan
kata Nyale berarti cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu
karang dibawah permukaan laut.
Bau Nyale merupakan sebuah acara perburuan cacing laut. Acara
ini diselenggarakan sekitar bulan Februari dan Maret. Tempat
penyelenggaraan upacara Bau Nyale ini ada di Pantai Seger, Kuta.
Terletak dibagian selatan Pulau Lombok.
Salah satu
kebudayaan suku Sasak di Lombok adalah tradisi Bau Nyale. Ini
merupakan salah satu tradisi sekaligus identitas suku Sasak.
Oleh sebab itu, tradisi ini masih tetap dilakukan oleh suku
Sasak sampai sekarang. Bau Nyale biasanya dilakukan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai di pulau Lombok
selatan, khususnya di pantai selatan Lombok Timur seperti pantai
Sungkin, pantai Kaliantan, dan Kecamatan Jerowaru.
Selain itu, juga dilakukan di Lombok Tengah seperti di pantai
Seger, Kuta, dan pantai sekitarnya. Saat melakukan tradisi ini
biasanya juga dilengkapi dengan berbagai hiburan pendamping.
Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi
ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara
turun temurun. Sayangnya, kapan kepastian waktu dimulainya
tradisi ini masih belum diketahui. Berdasarkan isi babad, Bau
Nyale mulai dikenal masyarakat dan diwariskan sejak sebelum abad
16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak. Dalam bahasa Sasak, Bau
artinya menangkap sedangkan Nyale adalah nama sejenis cacing
laut. Jadi sesuai dengan namanya, tradisi ini kegiatan menangkap
nyale yang ada di laut.
Cacing laut yang disebut dengan Nyale ini termasuk dalam filum
Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-lubang batu karang yang
ada dibawah permukaan laut. Uniknya, cacing-cacing nyale
tersebut hanya muncul ke permukaan laut hanya dua kali setahun.
Tradisi Bau Nyale merupakan sebuah kegiatan yang
dihubung-hubungkan dengan kebudayaan setempat. Bau Nyale berawal
dari legenda lokal yang melatarbelakangi yakni tentang kisah
Putri Mandalika. Menurut kepercayaan masyarakat Lombok, nyale
konon merupakan jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika
dikisahkan sebagai putri yang cantik dan baik budi pekerinya.
Karena kecantikan dan kebaikannya, banyak raja dan pangeran yang
jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadikannya sebagai
permaisuri. Putri tersebut bingung dan tidak bisa menentukan
pilihannya. Ia sangat bingung. Jika ia memilih salah satu dari
mereka, ia takut akan terjadi peperangan. Putri yang baik ini
tidak menginginkan peperangan karena ia tidak mau rakyat menjadi
korban.
|
|
|
|
|
|
|
|
Pesta Festival
Upacara Bau Nyale |
Cerita Legenda
Pesta atau upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan
tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi
bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok. Keberadaan pesta bau
nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang
berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Putri Mandalika, seorang putri cantik jelita yang menjelma
menjadi cacing nyale dan muncul sekali dalam setahun di Pantai
Lombok. Siapa sangka cacing nyale yang diperebutkan dan
dicari-cari setiap tahun oleh masyarakat Lombok ini adalah
jelmaan dari seorang putri yang sangat cantik yang jaman dahulu
diperebutkan oleh pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan di
Lombok.
Putri Mandalika adalah putri dari pasangan Raja Tonjang Beru dan
Dewi Seranting. Raja ini terkenal karena kebijaksanaannya
sehingga rakyatnya sangat mencintainya karena mereka hidup
makmur. Putri Mandalika hidup dalam suasana kerajaan dan
dihormati hingga dia menginjak dewasa.
Saat dewasa Putri Mandalika tumbuh menjadi seorang gadis yang
sangat cantik dan mempesona. Kecantikannya tersebar hingga ke
seluruh Lombok sehingga Pangeran-Pangeran dari berbagai Kerajaan
seperti Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan
Kuripan, Kerajaan Daha, dan kerajaan Beru berniat untuk
mempersuntingnya.
Mengetahui hal tersebut ternyata membuat sang Putri menjadi
gusar, karena jika dia memilih satu di antara mereka maka akan
terjadi perpecahan dan pertempuran di Gumi Sasak. Bahkan ada
beberapa kerajaan yang memasang senggeger agar Sang Putri jatuh
hati padanya. Namun hal ini malah membuat sang Putri makin
gusar.
Setelah berpikir panjang, akhirnya sang Putri memutuskan untuk
mengundang seluruh pangeran beserta rakyat mereka untuk bertemu
di Pantai Kuta Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut
perhitungan bulan Sasak tepatnya sebelum Subuh. Undangan
tersebut disambut oleh seluruh pangeran beserta rakyatnya
sehingga tepat pada tanggal tersebut mereka berduyun-duyun
menuju lokasi undangan.
Setelah beberapa saat akhirnya Sang Putri Mandalika muncul
dengan diusung oleh prajurit-prajurit yang menjaganya. Kemudian
dia berhenti dan berdiri di sebuah batu dipinggir pantai.
Setelah mengatakan niatnya untuk menerima seluruh pangeran dan
rakyat akhirnya Sang Putri pun meloncat ke dalam laut. Seluruh
rakyat yang mencarinya tidak menemukannya. Setelah beberapa saat
akhirnya datanglah sekumpulan Cacing berwarna-warni yang menurut
masyarakat dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.
2. PERANG KETUPAT DI PURA LINGSAR
Perang topat
adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar,
Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Perang ini merupakan
simbol perdamaian antara umat Muslim dan Hindu di Lombok. Acara
ini dilakukan pada sore hari, setiap bulan purnama ke tujuh
dalam penanggalan Suku Sasak. Sore hari yang merupakan puncak
acara yang dilakukan setelah salat ashar atau dalam bahasa Sasak
“rarak kembang waru” (gugur bunga waru). Tanda itu dipakai oleh
orang tua dulu untuk mengetahui waktu salat Ashar. Ribuan umat
Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar, dua komunitas umat beda
kepercayaan ini menggelar prosesi upacara Puja Wali, sebagai
ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari sang pencipta.
'Perang' yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat
di antara masyarakat muslim dengan masyarakat hindu. Ketupat
yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan,
karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil
panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung
ratusan tahun, dan masih terus dijalankan.
|
|
|
|
Prosesi
Festival Perang Topat di Pura Lingsar |
Festival Perang
Topat akan diawali prosesi adat setempat yakni pujawali, menurut
hitungan penanggalan Bali atau sekitar bulan Desember. Pujawali
di pura-pura lain dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Bali. Lain
halnya di Pura Lingsar, upacara ini dirangkai dengan tradisi
perang topat yang pelaksanaannnya didominasi warga Suku Sasak
bersama dengan masyarakat Bali lainnya yang sudah hidup
turun-temurun di Lombok.
Sehari sebelum pujawali ada upacara panaek gawe atau permulaan
kerja. Dilanjutkan dengan acara mendak atau menjemput roh-roh
gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung, dan
penyembelian kerbau serta sesajian berupa 9 jajajan,
buah-buahan, dan minuman. Prosesi acaranya sendiri sudah
berlangsung sejak 27 November tiap tahunnya.
Usai umat Hindu melakukan ngaturang bakti dan ngelungsur
amertha, prosesi perang topat pun dimulai. Diawal dengan
mengelilingi purwadaksina yang berada di areal Kemaliq. Para
tokoh Suku Sasak dan umat Hindu bergabung dalam prosesi ini yang
dimeriahkan denga tarian batek baris dan kesenian gendang beleq.
Perang topat sendiri akan mulai pada sore hari. Sekitar pukul
lima bertepatan dengan gugurnya bunga pohon waru. ‘Peluru’ yang
digunakan dalam ‘peperangan’ ini bukan peluru senapan melainkan
topat atau ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara lalu
dilempar ke siapa saja tanpa menimbulkan cedera. Saat berperang
ada iringan bunyi-bunyian kul-kul atau kentongan.
“Ribuan orang akan hadir dalam acara tahunan ini. Pascaperang,
ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut dan dibawa pulang
olehawarga. Ketupat itu merupakan sumber kemakmuran bagi
masyarakat,” katanya.
3. LEBARAN KETUPAT DI PANTAI BATU LAYAR LOMBOK BARAT
Alkisah, lebih dari
satu abad lampau, Tuan Guru Haji Musthafa Faisal, seorang tokoh
dan ulama di Pejeruk Ampenan, mendirikan perguruan yang menjadi
cikal-bakal Pondok Pesantren Al-Amin, pesantren yang cukup
populer bukan hanya di Kota Mataram akan tetapi hamper dikenal
sampai ke pelosok-pelosok Pulau Lombok. Dia lebih dikenal dengan
panggilan Tuan Guru Pejeruk. Tokoh ini memiliki banyak santri
yang berdatangan dari berbagai penjuru di Pulau Lombok.
Mereka mendapat bimbingan tentang ilmu qiro’ah menyangkut cara
pengucapan lafadz, kalimat, dan dialek (lahjah) dalam kebahasaan
kitab suci al-Qur’an. Sekaligus penguasaan ilmu tajwid, dalam
hal pengucapan huruf-huruf al-Qur’an secara tertib, sesuai
dengan makhraj dan bunyi asalnya. Di sinilah kekhususan
pesantren asuhan Tuan Guru Pejeruk. Maka tak heran, soal tajwid,
jebolan pesantren ini lebih unggul. Mereka menguasai
kaidah-kaidah teknis yang diperlukan demi memperindah bacaan
al-Qur’an.
Para santri tinggal di kediaman Tuan Guru Pejeruk selama masa
belajar. Mereka diijinkan pulang, beberapa hari menjelang Hari
Raya Idul Fitri pada 1 Syawwal. Setelah seminggu di kampung
halaman, mereka kembali ke Pejeruk.
Pada saat itulah Tuan Guru Pejeruk selalu menghidangkan masakan
istimewa bersama ketupat sebagai makanan pokok, untuk menyambut
kedatangan santri-santrinya. Sebuah wujud syukur berkumpulnya
kembali keluarga besar pesantren.
“Mari kita lebaran topat (ketupat, bahasa Sasak),” ucap Tuan
Guru Pejeruk setiap para santri kembali. Sejak itulah tradisi
lebaran topat dimulai.
Dari sebuah komunitas kecil, lambat laun menjadi sebuah tradisi
bagi masyarakat di Pulau Lombok, seminggu setelah lebaran Idul
Fitri. Mengalami banyak modifikasi dari generasi ke generasi.
Kini, selain sebagai hari puncak kemeriahan rangkaian hari raya
1 Syawwal, masyarakat juga menggunakan momentum Lebaran Topan
untuk berziarah ke makam-makam para ulama yang memiliki andil
dalam penyebaran Islam di Pulau Lombok.
Dua makam yang paling sering dikunjungi adalah makam Batu Layar
dan Loang Baloq. Makam Batu Layar terletak di kawasan pariwisata
Senggigi. Masyarakat meyakini bahwa di tempat itu makam seorang
ulama bernama Syeikh Duhri al-Haddad al-Hadrami berasal dari
Bagdad, Irak. Sedangkan di Loang Baloq, Sekarbela, Kota Mataram,
terdapat tiga makam ulama, masing-masing makam Syeikh Maulana
Gaus Abdurrazak, anak yatim, dan Datuk Laut. Syeikh Maulana Gauz
Abdurrazak adalah seorang ulama dari Baghdad yang menyebarkan
agama Islam dari Palembang lalu singgah di Lombok sekitar 18
abad lampau.
|
|
|
|
Prosesi
Perayaan Lebaran Ketupat |
Perayaan lebaran ketupat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara
Barat (NTB) setiap tahun selalu berlangsung meriah dan ramai
oleh warga maupun wisatawan yang ikut merayakan, baik dengan
ziarah makam maupun berwisata pantai.
Di Pulau Lombok sendiri, perayaan lebaran ketupat paling meriah
di NTB berlangsung di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
(Lobar), yaitu di maqam Loang Baloq, maqam Bintaro Kota Mataram
dan maqam Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat.
Acara perayaan dimulai dengan melaksanakan zikir dan doa bersama
dirangkaikan acara ngurisang (potong) rambut anak bayi memohon
doa keselamatan, baru kemudian dilanjutkan dengan acara pesta
pantai.
“Yang paling unik dari perayaan lebaran ketupat adalah, warga
berlomba membuat gunungan ketupat raksasa yang disusun
menyerupai kerucut panjang antara dua sampai tiga meter,” kata
Fitriani warga Desa Batu Layar, Lombok Barat di acara perayaan
lebaran ketupat,
Gunungan ketupat biasanya baru akan dibuka dan diturunkan untuk
dimakan usai prosesi dan rangkaian perayaan lebaran ketupat
dilaksanakan dan dibagikan kepada setiap warga yang datang ikut
memeriahkan perayaan lebaran ketupat.
Padli, warga lain mengaku perayaan lebaran ketupat di dengan
berbagai rangkaian kegiatan keagamaan dan budaya di Lombok Barat
memang sudah menjadi tradisi dan biasa dilaksanakan setiap
tahunnya.
“Pesta pantai menjadi rangkaian acara penutupan perayaan lebaran
ketupat di Lombok, baik dengan mandi maupun berkeliling sekitar
pantai naik perahu nelayan.”
4. MALEAN SAMPI / BALAPAN SAPI
Malean Sampi
adalah kegiatan upacara tradisional Malean Sampi sudah dikenal
dan digemari oleh masyarakat petani maupun peternak sapi sejak
zaman pemerintahan Hindia-Belanda sekitar abad ke-18 dan juga
saat pemerintahan Jepang. Kegiatan itu terus berlangsung
dibuktikan dengan adanya gambar Bendera Jepang pada Serumpungan
atau kerotok sapi yang dipertandingkan. Kegiatan ini terus
dipertahankan sampai sekarang, terutama di Narmada.malean sampi
dilaksanakan tiap tahun sebagai wujud "membayar kaul" atas
keberhasilan panen padi dan palawija. malean sampi adalah simbol
kehidupan religius mistis kehidupan masyarakat agraris terhadap
jagat raya ini. Sumber daya alam beserta isinya merupakan
karunia Ilahi yang harus dijaga dan dimanfaatkan oleh manusia
secara rasional bagi kehidupan. Dalam Bahasa Sasak
Lombok Malean Sampi
terdiri dari dua kata yakni, Malean yang berarti memalek atau
mengejar dan kata Sampi berarti Sapi. Dalam Malean Sampi ini,
yang dikedepankan adalah kemampuan seseorang mengendalikan
sepasang sapi yang dilengkapi dengan beberapa perlengkapan
seperti Gau, Ayuga, Samet, dan Serumpungan atau Kerotok.
Kegiatan itu diadakan pada sebidang tanah sawah datar dengan
panjang kurang lebih 100 meter dalam keadaan terendam air,
pasangan-pasangan sapi yang akan dipertandingkan dalam arena
Malean Sampi terlebih dahulu dihias kemudian diarak diiringi
kesenian daerah Lombok, seperti Gamelan Kamput, Batek Baris
Lingsar, Tawak-tawak dan sebagainya.
5. GENDANG BELEQ / DRUM BESAR
Gendang Beleq adalah Atraksi musik Gendang/besar. Musik
tradisional masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat. Grup Gendang
Beleq yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat ini, sedang
memainkan gending manuk belage, atau ayam berkelahi, dalam
Festival Gendang Beleq di Pantai Senggigi. Keindahan pertunjukan
musik Gendang Beleq tidak hanya pada bunyinya. Tetapi juga pada
kostum, gerak dan ekspresi para pemainnya. Atraksi Gendang Beleq
dimainkan oleh sekitar 30 sampai 40 orang, yang terdiri dari
penabuh gendang, gong, kenceng, reong, rencek, dan peniup
seruling. Pemain rencek paling banyak, sekitar 25 orang.
|
|
|
|
Gendang Beleq / Drum Besar |
Sedangkan penabuh
gendang, dua orang. Menurut Rusdi Harjo, pimpinan grup kesenian
Gendang Beleq asal Narmada, Lombok Barat, menurut hikayatnya,
penabuh Gendang Beleq itu adalah sepasang kera kembar. Karena
itu pakaian yang dikenakan maupun gendangnya berwarna sama. Pada
zaman dahulu, atraksi Gendang Beleq diperuntukkan bagi para
prajurit yang akan berperang, atau untuk menyambut prajurit yang
baru menang perang. Karena itu, bunyi tetabuhannya sangat
menggugah semangat, dan memancing teriakan emosi orang yang
menontonnya. Gendang Beleq merupakan kesenian rakyat Lombok.
Keberadaannya tidak hanya sebatas di festival dan di kota tetapi
juga di desa-desa yang jauh dari kota.Keterampilan warga Lombok
memainkan Gendang Beleq umumnya diperoleh secara alamiah, turun
temurun. Seperti halnya Mansyur, dia mempelajari menabuh Gendang
Beleq secara alami, tanpa ada yang mengajari.
6. PERESEAN / PERKELAHIAN DENGAN ROTAN
Peresean
adalah pertarungan antara dua orang yang bersenjatakan alat
pemukul (sebilah tongkat) dari rotan (penjalin) dengan tameng
dari bahan kulit sapi/kerbau. Peresean juga bagian dari upacara
adat di pulau Lombok dan termasuk dalam seni tarian suku sasak.
Seni peresean ini menunjukkan keberanian dan ketangkasan seorang
petarung (pepadu), kesenian ini dilatar belakangi oleh
pelampiasan rasa emosional para raja dimasa lampau ketika
mendapat kemenangan dalam perang tanding melawan musuh-musuh
kerajaan, disamping itu para pepadu pada peresean ini mereka
menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan dalam
bertanding. Yang unik dalam pertarungan ini adalah pesertanya
tidak dipersiapkan sebelumnya alias para petarung diambil dari
penonton sendiri, artinya penonton saling tantang antar penonton
sendiri dan salah satu pemain akan kalah jika kepala atau
anggota badan sudah berdarah darah. Masing-masing pepadu/pemain
yang akan bertanding membawa sebuah perisai (ende) dengan alat
pemukul yang terbuat dari sebilah rotan, dalam pertanding ini
dipimpin oleh seorang wasit (pekembar).
|
|
|
|
Peresean
/ Perkelahian Dengan Rotan |
Wasit ini ada
dua macam, yakni wasit pinggir dan wasit tengah. Wasit
pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan pemain dari
penonton yang akan bertarung, sedangkan wasit tengah (pekembar
tengaq) yang akan memimpin pertandingan. Pada umumnya para
pepadu yang bertarung oleh pekembar mempunyai awiq-awiq dengan
menggunakan sistem ronde atau tarungan, masing-masing pasangan
bertarung selama lima ronde, yang akhir ronde / tarungan
tersebut ditandai dengan suara pluit yang ditiup oleh pekembar
tengaq (yang memimpin pertandingan). Aturan yang dipakai adalah
pemain tidak boleh memukul badan bagian bawah (kaki/paha) tetapi
hanya diperbolehkan memukul tubuh bagian atas (kepala, pundak,
punggung).
Jika salah satu
pepadu bisa memukul kepala maka skor yang didapet pasti tinggi,
palagi kepala lawan sampe bocor. Peresean ini disamping tongkat
pemukul dari rotan yang digunakan oleh masing-masing pepadu,
juga ada musik pengiring yang akan memberikan semangat kedua
petarung sekaligus sebagai pengiring kedua petarung untuk
menari. Lho kok menari..?? Iya menari, itu merupakan jeda
istirahat sejenak sebelum melanjutkan pertarungan sekalian
sebagai ajang adu gertakan (psywar) bagi lawan. Jadi sehabis
pertarungan sengit wasit biasanya menghentikan sejenak
pertarungan, nah disanalah kedua petarung menari sambil
mempelajari lagi kekuatan lawan. Alat-alat musik yang digunakan
sebagai pengiring terdiri dari gong, sepasang kendang,
rincik/simbal, kajar serta suling. Peresean sering juga
ditampilkan menyambut tamu-tamu atau wisatawan mancanegara yang
datang berkunjung ke Lombok, dan mereka menilai permainan dan
atraksi itu cukup unik karena kedua petarung saling pukul dengan
rotan yang mengakibatkan kepala dan badannya terluka parah,
namun selesai pertandingan mereka saling berpelukan seolah-olah
tidak pernah terjadi apa-apa, atau dengan kata lain tidak ada
dendam.
7. NYONGKOLAN / KARNAVAL ACARA PERKAWINAN DI JALAN
Nyongkolan adalah
sebuah kegiatan adat yang menyertai rangkaian acara dalam
prosesi perkawinan pada suku sasak di Lombok, Nusa Tenggara
Barat. kegiatan ini berupa arak-arakan kedua mempelai dari rumah
mempelai pria ke rumah mempelai wanita, dengan diiringi keluarga
dan kerabat mempelai pria, memakai baju adat, serta rombongan
musik yang bisa gamelan atau kelompok penabuh rebana, atau
disertai Gendang beleq pada kalangan bangsawan. Dalam
pelaksanaannya, karena faktor jarak, maka prosesi ini tidak
dilakukan secara harfiah, tetapi biasanya rombongan mulai
berjalan dari jarak 1-0,5 km dari rumah mempelai wanita.
|
|
|
|
Adat Kawin di Lombok / Nyongkolan |
Tujuan dari
prosesi ini adalah untuk memperkenalkan pasangan mempelai
tersebut ke masyarakat, terutama pada kalangan kerabat maupun
masyarakat dimana mempelai perempuan tinggal, karena biasanya
seluruh rangkaian acara pernikahan dilaksanakan di pihak
mempelai laki-laki.
Sebagian peserta dalam prosesi ini biasanya membawa beberapa
benda seperti hasil kebun, sayuran maupun buah-buahan yang akan
bibagikan pada kerabat dan tetangga mempelai perempuan nantinya.
Pada kalangan bangsawan urutan baris iring-iringan dan benda
yang dibawanya memiliki aturan tertentu.
Hingga saat ini Nyongkolan masih tetap dapat ditemui di Lombok,
iring-iringan yang menarik masyarakat untuk menonton karena
suara gendangnya ini biasanya diadakan selepas dzuhur di akhir
pekan. Apabila anda melakukan perjalanan antar kota di Lombok,
maka bersiaplah untuk menghadapi kemacetan insidental akibat
Nyongkolan yang dapat anda temui sepanjang jalan, apabila di
akhir pekan tersebut banyak digelar pernikahan.
-o0o-
|
|